Kesempatan Itu Indah

gelandangan

Ketika Arif Zikri menanyakan dalam Opini Singgalang Penunda Lapar, sampai kapan bocah pengemis yang ditemuinya harus menunda lapar dengan Okky Jelly. Maka dibutuhkan kepastian jalan keluar dari belitan kesulitan para gelandangan yang hidup di jalanan.

Entah mengapa, ketika memperhatikan gelandangan dan pengemis, seakan melihat ketidaksempurnaan yang mutlak. Tampilan gelandangan biasanya kotor, kondisi fisik yang tidak sempurna dan punya wajah yang layak dibelaskasihi. Semua orang memandang sebelah mata dan selalu menganggap remeh keberadaanya. Bahkan dengan nada kasar, sebagian orang lebih memberi caci maki ketimbang mengeluarkan beberapa recehan untuk mereka.

Jika dilihat lebih dekat, anak-anak jalanan tumbuh karena orang tua mereka tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk menopang semua kebutuhan hidupnya. Mereka terpaksa turun ke jalan, untuk mencari tambahan uang untuk kepentingan dirinya dan membantu keluarga. Namun, sebagian orang beranggapan bahwa usaha mereka mencari uang dengan meminta-minta merupakan cerminan rasa malas dan tidak mau berusaha.

MOBIL mpr

Kita bandingkan dengan pola elit politik di Senayan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sudah tidak ada lagi budaya malu dalam kamus mereka. Untuk memperoleh sebuah kekuasaan, mereka rela menjual harga diri dan prinsip kejujuran. Hanya demi kepentingan sebagian elit politik, mereka menjual sebuah kebenaran sehingga korupsi berjamaah tidak lagi menjadi hal yang harus dipermalukan. Apakah terlintas di benak masyarakat kelakuan biadab yang sejatinya merugikan semua kalangan. Termasuk hak-hak para gelandangan yang seharusnya diperhatikan dan dipelihara oleh Negara.

Kebijakan pemerintah seakan tajam ke bawah dan tupul ke atas. Sawir mengatakan masih kurangnya bersamaan keadilan di mata hukum dewasa ini. Pemerintah hanya disibukkan dengan membuat kebijakan dan memperketat aturan di level bawah. Keberadaan anak jalanan dianggap sebagai penyakit masyarakat yang harus diberantas dan ditertibkan. Pengasong dan pedagang kakilimausaha benar terus dikejar dan ditangkap aparat Satuan Pamong Praja di jalanan. Alangkah lucunya negeri ini.

Di masa-masa sulitnya masyarakat memperoleh pekerjaan yang layak dengan gaji yang cukup, usaha para gelandangan sebenarnya merupakan usaha halal yang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Tidak terbayangkan bagaimana susahnya mencari uang dengan mengorbankan sebuah harga diri. Seandainya mereka mempunyai ijazah sarjana pendidikan, sudah dipastikan mereka lebih memilih mengajar honorer yang gajinya lebih kecil dari hasil mereka mengemis. Karena memperoleh penghormatan dan cara pandang berbeda dari masyarakat.

Sesaat selesai menonton Kick Andy edisi berbagi tiada henti, penulis sontak menjadi sosok yang rendah dan kalah. Semua orang takjub dan kagum ketika melihat salah satu siswa yang tidak memiliki kesempurnaan fisik, hampir sama dengan para gelandangan. Kharisma, penyandang autis yang berpidato di depan umum. Dia menjadi motivator dengan segudang penghargaan. Dengan kekurangan yang dimilikinya, Kharisma sudah memecahkan tiga rekor Muri di usia yang belum remaja. Sebuah ungkapan yang penuh maknapun, keluar dari guru yang peduli yaitu Ciptono seorang kepala sekolah Sekolah Luar Biasa di Semarang setelahnya. Beliau menggungkapkan bahwa Anak Berkebutuhan Kusus (ABK) bukan produk Tuhan yang gagal, karena Tuhan tidak pernah gagal. ABK diciptakan tidak untuk dikasihani, tapi diberi kesempatan, yaitu kesempatan untuk mengenyam pendidikan.

Di sinilah kunci permasalahannya. Pendidikan merupakan hak asasi manusia dan mendukung upaya pemberian peluang yang sama kepada seluruh masyarakat untuk mendapatkan pendidikannya yang merupakan prasyarat mencapai keadilan sosial. Jika para pengemis dan gelandangan memiliki nasib yang sama baiknya dengan siswa ABK-nya Pak Ciptono, dapat dibayangkan sudah berapa rekor Muri yang dipecahkan oleh manusia yang tidak memperoleh kesempatan ini.

PENDIDIKANNamun, pada kenyataanya peringkat Indonesia dalam indeks pembangunan pendidikan untuk semua (Education for All) tahun 2011 masih menurun. Di Indonesia ada sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNESCO) merilis indeks pembangunan pendidikan peringkat Indonesia turun pada posisi ke-69 dari 127 negara. Tahun lalu, posisi Indonesiake-65. Dari empat indikator penilaian, penurunan drastis terjadi pada nilai angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Pada laporan terbaru nilainya 0,862, sedangkan tahun 2010 mencapai 0,928. Indikator lain, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas juga tak beranjak signifikan.

Anak-anak putus sekolah usia SD dikhawatirkan kembali bermasalah dalam baca dan tulis. Jika digabung dengan siswa SD yang tak bisa melanjutkan ke jenjang SMP, siswa yang hanya mengenyam pendidikan SD bertambah. Lulusan SD yang tak dapat ke SMP tercatat 720.000 Siswa (18,4 persen) dari lulusan SD tiap tahunnya. Dapat disimpulkan, keberadaan anak putus sekolah akan menambah jumlah anak yang menjadi gelandangan di jalanan. Karena kurangnya kecakapan dasar dan tidak dimilikinya legalitas pendidikan, secara terpaksa mereka pergi ke jalanan demi menyambung hidup dan kehidupannya untuk mencari segelas penunda lapar.

Untuk itu, enam target pendidikan berupa memperluas cakupan pendidikan, menyediakan pendidikan dasar gratis untuk semua kalangan, memasyarakatkan dan membekali anak-anak serta orang dewasa dengan keterampilan yang berguna tidak lagi menjadi retorika dan harus terlaksana. Pemberian akses pendidikan harus ditingkatkan. Biaya operasional yang selama ini menjadi kendala utama para penuntut ilmu harus ditanggung pemerintah sepenuhnya. Seperti buku dan alat tulis sekolah, pakaian dan perlengkapan sekolah, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, karyawisata, uang saku, kursus dan iuran sekolah.

Kesempatan itu indah, karena kesempatan merupakan celah awal dalam mewujudkan sebuah mimpi untuk menjadi kenyataan. Kesempatan adalah peluang, karena setiap orang dapat mengambil atau mengabaikannya. Dengan memberikan ruang gerak yang sama bagi para penerus bangsa dalam mengenyam pendidikan, tanpa adanya diskriminasi finansial, diharapkan munculnya sosok penerus bangsa yang benar-benar memikirkan sebuah kemajuan bagi bangsa ini kedepannya.

0 komentar:

Posting Komentar