Alangkah Lucunya Negeri Ini

Alangkah lucunya negeri ini. Ketika pedagang asongan, usaha benar terus dikejar dan ditangkap aparat Satuan Pamong Praja di jalanan sedangkan para koruptor dibiarkan bebas tanpa tindakan. Kalimat tersebut memang pantas untuk menggambarkan realitas dan gejolak di tengah masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah bangsa yang besar, negara ini sangat penuh dengan kesesakan permasalahan yang dihadapinya.
Alangkah lucunya negeri ini, begitu juga Pak Deddy Mizwar bercerita dalam karya filmnya mengenai cerminan dari dinamika kehidupan berbangsa di negara kita yang tidak terlepas dari kemiskinan.
Dalam surat No. 45/07/Th. XIII yang dikeluarkan oleh tim sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 1 Juli 2010 lalu mengumumkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin berkurang 1,51 juta jiwa. Hal di atas menjadi indikator capaian bahwa terjadinya sebuah arah perkembangan yang signifikan. Namun Menteri Kordinator Perekonomian, Hatta Rajasa tak menampik jumlah penduduk miskin yang masih terbilang tinggi di Indonesia. "Seluruh penduduk Indonesia sekitar 240 juta orang, 13,3% di antaranya merupakan penduduk miskin," ujar Hatta saat membuka Seminar Micro Finance Summit 2011 yang digagas Harian Republika di Jakarta. Hatta mengatakan pemerintah menganggap masalah pengentasan kemiskinan tidak cukup diselesaikan dengan perdebatan. Pembukaan lapangan kerja dianggap sebagai salah satu solusi untuk menciptakan penurunan angka kemiskinan di Indonesia.
Di Indonesia, kemiskinan tidak hanya dipandang sebagai kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan saja. Kemiskinan dipandang sebagai sebuah keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Dengan demikian, kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat seperti akses yang rendah dalam sumber daya dan aset produktif untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan hidup berupa ilmu pengetahuan, informasi, teknologi dan modal.
Mengenyam pendidikan merupakan hak asasi manusia dan mendukung upaya pemberian peluang yang sama kepada seluruh masyarakat untuk mendapatkan pendidikannya yang merupakan prasyarat mencapai keadilan sosial.
Enam target pendidikan berupa memperluas cakupan pendidikan, menyediakan pendidikan dasar gratis untuk semua kalangan, memasyarakatkan dan membekali anak-anak serta orang dewasa dengan keterampilan yang berguna hanyalah sebuah retorika saja. Masih banyak anak-anak yang tidak memperoleh akses untuk bersekolah. Pendidikan gratis yang dicanangkan pemerintah tidak memberikan jawaban yang puas terhadap kendala kemiskinan yang dihadapi. Biaya operasional yang harus ditanggung seperti buku dan alat tulis sekolah, pakaian dan perlengkapan sekolah, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, karyawisata, uang saku, kursus dan iuran sekolah menjadi permasalahan yang sangat rumit.
Penurunan peringkat Indonesia dalam indeks pembangunan pendidikan untuk semua (Education for All) tahun 2011, salah satunya disebabkan tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar. Putus sekolah di jenjang SD itu disebabkan karena faktor ekonomi. Ada anak yang belum pernah sekolah, ada yang putus di tengah jalan karena ketiadaan biaya. Di Indonesia ada sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNESCO) merilis indeks pembangunan pendidikan (education development index) dalam EFA Global Monitoring Report 2011. Peringkat Indonesia turun pada posisi ke-69 dari 127 negara. Tahun lalu, posisi Indonesia ke-65. Dari empat indikator penilaian, penurunan drastis terjadi pada nilai angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Pada laporan terbaru nilainya 0,862, sedangkan tahun 2010 mencapai 0,928. Indikator lain, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas juga tak beranjak signifikan.
Anak-anak putus sekolah usia SD dikhawatirkan kembali bermasalah dalam baca dan tulis. Jika digabung dengan siswa SD yang tak bisa melanjutkan ke jenjang SMP, siswa yang hanya mengenyam pendidikan SD bertambah. Lulusan SD yang tak dapat ke SMP tercatat 720.000 Siswa (18,4 persen) dari lulusan SD tiap tahunnya.

Selain pendidikan, peluang dan akses untuk memenuhi kebutuhan hidup juga terhambat. Kecenderungan pemerintah mempersulit bahkan menghambat mereka untuk memenuhi kebutuhan belum melahirkan tindakan yang tegas dan berkesinambungan. Ketika belasan pengasong dan gelandangan terus lari pontang panting menghindari kejaran petugas keamanan dan ketertiban, pemerintah tidak pertimbangan dampak yang akan terjadi. Bahkan lucunya lagi, pedagang keliling yang kurang mengenyam pendidikan harus duduk berdampingan dengan hakim dan jaksa. Mereka menjalani proses persidangan karena dituding melakukan pelanggaran terhadap Perda No 14 Tahun 2001 tentang Ketertiban Usaha, yakni berjualan di bahu jalan maupun trotoar dan merusak program penghijauaan jalan. Mereka yang menjalani sidang merupakan hasil penjaringan dari operasi Satpol PP.
Kemiskinan akan melahirkan tindak kejahatan apabila terpicu dari keadaan sulit yang terus mendesak. Kemiskinan bukanlah sebuah aib atau kondisi yang berdosa dalam agama. Ketika masyarakat miskin berusaha untuk mengubah arah haluan kehidupannya, pemerintah seharusnya memberikan akses berupa sebuah kesempatan dan peluang bagi mereka berupa modal, informasi dan peluang usaha yang benar sebagai upaya untuk maju. Jangan biarkan tumbuh dan berkembangnya sindikat kejahatan karena mempermasalahkan hal yang biasa yang dapat diselesaikan bersama.
Alangkah lucunya negeri ini, dimana semua tanggung jawab pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan menjadi sebuah hijab yang besar bagi rakyatnya untuk memperoleh akses dan kesempatan yang sebebasnya untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Alangkah lucunya negeri ini ketika manusia terpelajar yang usaha kotor, menggerogoti sebagian aset negara bebas berkeliaran tanpa diadili hanya untuk terlepas dari belenggu kemiskinan pribadi.

0 komentar:

Posting Komentar